Sabtu, 11 April 2020
BLOG GURU KEREN
Persoalan mendasar pendidikan kita pada konsep adalah penerapan LOTS dalam pembelajaran dimasa lalu, dampaknya siswa hebat adalah siswa yang mampu menjawab soal-soal yang dengan hafalan pun tuntas.
Akhirnya hampir semua Rangking 1 di Indonesia adalah mereka yang Jago Menghafal. Anak-anak kita jarang dinilai kemampuannya pada kemampuan menemukan masalah dan membuat problem solving atas masalah tersebut sehingga anak-anak kita miskin ide, kering kreativitas dan hampir-hampir tak punya daya cipta.
Profesi paling cocok buat anak-anak kita adalah karyawan teknis, mereka akan sangat jago mengerjakan sesuatu yang sifatnya instruksional dan sudah runut petunjuk pelaksanaannya. Tetapi tak mampu menemukan masalah dari apa yang dikerjakannya. Maka itu tidak heran jika copy paste program kerja dan anggaran dalam dunia pemerintahan juga terjadi karena memang pendidikan kita seputar itu.
Beban mata pelajaran yang banyak membuat siswa betul-betul menghabiskan waktunya pada penguasaan materi, bukan proses ilmiah dimana tesa dan anti tesa berbenturan untuk melahirkan sintesa baru. Tesa yang ada hanya dijadikan sebagai pedoman untuk dihafal agar mendapatkan nilai tinggi. Ukuran sukses adalah seberapa tinggi total nilai raport bukan kemampuan menemukan dan menyelesaikan masalah.
Ketika beranjak ke pendidikan yang lebih tinggi pola hafalan ini terus berlanjut. Buat saya SMA itu harusnya tanpa jurusan, tak perlu ada jurusan IPA, IPS dan Bahasa, mereka yang mau spesifikasi sebaiknya memilih SMK agar ada penyederhanaan jumlah mata pelajaran di level SMA. Di negeri ini banyak guru PNS yang hanya ngajar 6 jam seminggu atau 24 jam sebulan, artinya jika seandainya dikumpulkan, yang bersangkutan mengajar 1 minggu sdh lebih dari cukup karena total jam mengajar seminggu itu 40 jam, itupun bukan 60 menit tapi hanya 40 menit di SMP dan SMA hanya 45 jam. Ini jelas pemborosan karena berapapun jam mengajar guru, gaji mereka tetap 100%, bedanya karena mereka tak mendapatkan tunjangan profesi guru jika tak cukup 24 jam per minggu. Guru honorer menjadi begitu banyak, salah satu faktornya adalah karena jumlah mata pelajaran yang begitu banyak. Terkait soal guru, pemerintah menurut kami belum serius mengurusi pendidikan jika di sekolah negeri masih ada guru non PNS dan di sekolah swasta masih ada guru Non GTY dan sebenarnya ini persoalan sederhana, dalam hitungan saya, hanya butuh waktu setahun untuk melakukan pembenahan itu agar ketika problem guru tuntas maka problem lainnya bisa dikerjakan.
Terkait kompetensi guru, kemdikbud sebenarnya tak perlu repot-repot melatih guru, cukup membuat standar guru ideal dan standar guru minimal saja, lalu lakukan assessment secara berkala dua tahun sekali dengan tolak ukur yang jelas. Ukuran kualitas guru bukan hanya pada kemampuan diri dang guru tetapi juga kemampuannya mencerdaskan dan memaksimalkan kemampuan siswa, maka itu assessment bukan hanya ke gurunya dalam bentuk UKG tapi juga ke siswanya, sejauh mana siswanya mengalami perkembangan kemampuan dalam menemukan masalah dan menuntaskan masalahnya pada level mereka masing-masing. Mengapa kami mendorong hal ini karena seharusnya guru di dorong agar secara mandiri bergerak meningkatkan kompetensinya. Bukan menggunakan dana negara untuk meningkatkan kompetensi mereka.
Saat ini semua kalangan heboh dengan dua issu utama yaitu 4.0 dan HOTS. Saya khawatir kehebohan ini hanya menguras energi dan perhatian tetapi tidak menuntaskan masalah diakar rumput. Problem ini diseminarkan dan dihebohkan dimana-mana tapi ruang-ruang kelas kita tak banyak berubah. Sibuk berdiskusi, merasa menemukan solusi lalu berharap orang lain yang mengerjakannya.
Saat ini beberapa pihak mengusik Kurikulum K-13 yang sudah dianggap usang, padahal puluhan triliun anggaran dihabiskan hanya untuk bimtek K-13 yang baru berakhir tahun kemarin itu dipaksakan. Bimtek seperti ini sebenarnya sudah tidak diperlukan dalam era moderen karena berbagai media sudah tersedia. Kemdikbud cukup menyedikan orang yang siap menerima konsultasi dari siapapun guru yang tak mampu mengimplementasikan kurikulum setelah dibagikan secara online ke semua guru di seluruh Indonesia. Media membaginya pun tak perlu repot karena dunia sudah begitu canggih. 10 tahun lalu ketika kami pertama kali mengurus Ikatan Guru Indonesia, kemampuan teknologi informasi guru memang memprihatinkan tapi dalam satu dasawarsa sudah berubah drastis, kemungkinan guru gaptek atau tak paham teknologi hanya sekitar 10%, selain karena faktor pengembangan diri juga karena guru-guru konservatif sudah memasuki masa pensiun. Karena itu saya tidak sepakat dengan kemdikbud yang ingin mengangkat guru-guru pensiun menjadi guru honorer.
Pada level SMK, problem semakin ruwet karena faktanya, pengangguran terbesar adalah alumni SMK, mengapa?
Pendidikan SMK yang puluhan tahun lalu diinginkan porsinya 20:80 jauh panggang dari api, jangankan perbanding 20:80 dari sisi praktek dan teori. Dari sisi pendidikan produktif dan normatif adaftif saja masih 55:45 bahkan dalam aplikasinya, lebih bisa menjadi 80 normatif adaptif dan hanya 20 produktif sehingga sangat wajar jika alumni SMK tak punya skill yang dibutuhkan dunia Industri. Sangat sulit menemukan guru produktif karena LPTK tak memproduksi guru produktif. Guru-guru produktif yang dulu direkrut dari jurusan non kependidikan kita perlahan menghilang ditelan pensiun atau beralih profesi. Akhirnya ruang-ruang kelas kemudian diisi oleh teori dari mata pelajaran normatif dan adaptif. Memang ada beberapa SMK yang luar biasa dan alumninya mudah diserap dunia kerja tetapi jumlahnya tak begitu banyak di Indonesia. Apakah SMK sebaiknya dibawah Kementerian Perindustrian?
Jika kemdikbud tidak mampu, mungkin perlu dipikirkan kesana seperti pendidikan keagaamaan madrasah dan pesantren yang ditangani kementerian agama.
Sisi lain pendidikan kita adalah semakin jauhnya budaya lokal terhadap pendidikan, sekolah mungkin berkontribusi akan kemungkinan punahnya beberapa bahasa daerah dan semakin dominannya anak-anak jaman now di kota Provinsi dan kota kabupaten yang tak lagi mampu bertutur dalam bahasa daerah masing-masing.
Dalam sisi prestasi olahraga, pendidikan kita hampir-hampir tak punya kontribusi terhadap prestasi olahraga. Mayoritas atlit kita lebih banyak yang sifatnya “nemu” dibanding “dilahirkan”. Di sekolah, seseorang bisa mendapatkan nilai jelek olah raga meskipun yang bersangkutan adalah juara renang nasional karena pada semester tersebut sedang belajar tentang sepak bola dan basket. Saat ini ada sekolah yang dibuat khusus untuk olah raga tetapi itu pada level yang sudah tinggi yaitu SMA sementara pembinaan seharusnya ada dilevel SD dan maksimal di SMP untuk menemukan bakat yang bisa berkontribusi di level internasional.
Masih banyak problem lain dalam dunia pendidikan kita yang sifatnya substantif, tapi kita sibuk berdebat dengan hal remeh temeh yang tak menyentuh akar persoalan.
Muhammad Ramli Rahim
Ketua Umum Pengurus Pusat
Ikatan Guru Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar